RESENSI BUKU BH (KUM[PULAN CERPEN EMHA)
RESENSI BUKU “BH” KUMPULAN CERPEN
EMHA
Emha Ainun Nadjib
tergolong manusia multidimensi. Awalnya dikenal sebagai penyair, kemudian
menulis naskah, novel, drama, esai, dan cerpen dengan berbagai tema sosial
budaya yang relevan dengan kehidupan masyarakat kecil. Buku ini menunjukkan
bagaimana Emha berevolusi menjadi penulis yang benar-benar matang dalam
berpikir dan mengolah kata-kata. Cerpen BH ini merupakan salah satu buah
kreativitas Emha dalam berbagai persoalan terkait kehidupan manusia, misalnya
cerpen Ambang, Kepala Kampung, BH, Jimat, Lelaki ke 1.000 di Ranjangku, dan
lain sebagainya.
Cerpen-cerpen dalam
kumpulan cerpen BH karya Emha Ainun Nadjib berasal dari rentang masa 1977 –
1982. Berisi 23 kumpulan cerpen yang telah diterbitkan di Koran dan majalah
seperti: Kompas, Sinar Harapan, Horizon, dan Zaman. Buku ini menarik untuk
menjadi koleksi buku, karena dalam dunia kepenulisan cerpen, nama Emha jarang
terdengar. Namun, mengikuti Emha bercerita lewat buku ini seperti membaca
esai-esainya yang mengalir deras tak cuma soal sastra tetapi mencakup berbagai
dimensi persoalan kehidupan.
Banyaknya cerpen dalam
buku ini, maka penulis hanya akan menyajikan gambaran singkat pada beberapa
cerpen seperti, Ambang dan BH. Kepandaian Emha dalam menyelami pergulatan batin
terlihat jelas dalam judul “Ambang”. Tokoh utama terus meminta kepada Tuhan
untuk segera mencabut nyawanya. Dialog-dialog panjang yang Emha sajikan dalam
cerpen ini mencerminkan tokoh utama sudah kehilangan semangat hidupnya. Hampa,
pasrah dan nyaris tidak waras.
Cerpen yang menjadi
tajuk utama, “BH” yang mengangkat kisah LGBT, mengisahkan kisah dramatik dua orang laki-laki
yang saling mencintai dan memahami arti cinta yang tidak hanya sekedar seks
atau hubungan intim di dunia. Cerpen ini mengandung makna ketulusan dan
kepandaian memelihara batas, walaupun ada kesempatan untuk “aku” melakukan apa
yang Allah larang. Tulisan Emha yang membekas dalam benak penulis terkait
cerpen ini “Marilah kita bercinta pada tempatnya. Kau mencintai itu dan
bersedia menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai
penderitaanmu”. Tulisan Emha ini membuat penulis merasakan, bagaimana perasaan
seorang penganut LGBT.
Buku ini disajikan
dengan bahasa yang khas ala Cak Nun (sapaan hangat beliau), dimana menyampaikan
kritik secara menggelitik. Membuat pembaca tertawa miris atau justru malah
simpati dengan kondisi yang disajikan. Kelebihan buku ini, meskipun cerpen ini
dimuat dari rentang 1977 – 1982 hingga akhirnya dibukukan oleh Kompas sebagai
kumpulan cerpen yang berjudul BH, akan tetapi kesemuanya memiliki dimensi yang
lebih luas dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Ketika kita sedang
membaca cerpen ini, kita tidak sedang memandang permasalahan kehidupan 20 tahun
yang lalu, ataupun 10 tahun yang lalu, tetapi kondisi saat ini. Hal ini tidak
terlepas dari kedalaman berpikir seorang Emha Ainun Nadjib. Bahwa setiap
persoalan dipetakan secara sungguh-sungguh, tidak dilihat secara parsial tetapi
secara holistik.
Sayangnya, buku ini banyak
memakai analogi yang jarang diketahui masyarakat awam. Buku ini juga memiliki
bahasa yang berat, sehingga perlu 2 sampai 3 kali membaca untuk memahami
hakikat yang ingin disampaikan dalam setiap cerpennya. Memahami, tulisan-tulisan
ini tidak bisa langsung secara instan, sehingga perlu dicerna secara perlahan
pada beberapa judul cerpen seperti, tajuk utama cerpen ini “BH”. Pembaca
dituntut untuk memiliki kedalam berpikir dan memiliki sudut pandang yang luas,
sehingga tidak gampang menyalahkan statement
seseorang.
Terimakasih, Semoga Bermanfaat :)
Comments
Post a Comment