Aktualisasi Konsep Tawadu’ Antara Guru dan Murid Menjawab Problematika Degradasi Moral Remaja (Telaah dalam Prespektif Pola Hubungan Guru dan Murid)
Aktualisasi
Konsep Tawadu’ Antara Guru dan Murid
Menjawab
Problematika Degradasi Moral Remaja
(Telaah
dalam Prespektif Pola Hubungan Guru dan Murid)
Oleh
Nafi’atul Istifadah
Jurusan
Geografi, Universitas Negeri Malang
Nafiatul.Istifadah1608@gmail.com
ABSTRAK
Peningkatan kualitas Sumber
Daya
Manusia (SDM) selalu menjadi harapan setiap bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita
ini perlu adanya dukungan dari seluruh elemen masyarakat karena, dengan sumber
daya manusia yang berkualitas akan dapat membangun Negara ini dan mempercepat
tercapainya tujuan bangsa Indonesia, dalam semua aspek kehidupan. Dalam rangka
peningkatan sumber daya manusia maka, perlu adanya persiapan sejak dini, baik
dari segi intelektualitas maupun moralitas serta spiritualnya. Pendidikan
memiliki peran penting sebagai sarana peningkatan kualitas suatu bangsa, salah
satu unsur yang paling penting dan utama dalam dunia pendidikan adalah sosok
guru. Guru adalah orang yang memberi ilmu pengetahuan kepada anak didiknya.
Menurut realita yang terjadi, banyak peserta didik yang notabene belajar ilmu
pengetahuan, akan tetapi melakukan tindakan-tindakan yang tidak berpendidikan.
Sopan santun antara murid kepada guru mulai luntur seiring masuknya teknologi
dan kemajuan-kemajuan yang lain di era globalisasi. Oleh karena itu tujuan
penulisan artikel ini diharapkan mampu memberi pemahaman dan pandangan
bagaimana posisi murid dan guru dalam islam sehingga tawadu’ kepada guru mampu
di bumikan kembali di negeri ini, guna menunjang keberhasilan dalam proses
pendidikan, dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber
data dalam penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder, artinya data ini
tidak diusahakan sendiri atau tidak meng-observasi langsung kondisi di
lapangan. Pengumpulan data oleh penulis diambil dari data statistic, majalah,
publikasi, keterangan-keterangan dan lain sebagainya. Dalam penulisan artikel
ini diharapkan setiap elemen dalam dunia pendidikan dapat berperan aktif serta
tahu porsi hak dan kewajibannya masing-masing, jika hal ini dapat dijalankan
dengan baik maka tak ayal tujuan dari pembangunan bangsa akan tercapai dengan
mudah nya karena memiliki kualitas generasi muda yang tak hanya pandai tetapi
juga bermoral.
Kata Kunci: Pendidikan
Islam, Konsep Tawadu', Guru, Murid, Hubungan Guru dan Murid.
PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM) selalu menjadi harapan setiap bangsa. Untuk mewujudkan cita-cita ini
perlu adanya dukungan dari seluruh elemen masyarakat karena, dengan sumber daya
manusia yang berkualitas akan dapat membangun Negara ini dan mempercepat
tercapainya tujuan bangsa Indonesia dalam semua aspek kehidupan. Dalam rangka
peningkatan sumber daya manusia maka, perlu adanya persiapan sejak dini, baik
dari segi intelektualitas maupun moralitas serta spiritualnya. Untuk dapat
menciptakan muslim atau generasi yang berintelektualitas maka pendidikan
menjadi salah satu sarana utama yang perlu dikelola dengan baik sesuai temporal
dan spasial manusia itu sendiri.
Manusia adalah mahluk unik, dinamis,
memiliki dinamika yang kompleks dan selalu berkembang. Maka pendidikan, dituntut
untuk selalu berkembang mengikuti kebutuhan manusia yang tak terbatas dalam
rangka menciptakan manusia yang bahagia dunia dan akhirat. Namun, cita-cita
tersebut tidak akan tercapai jika ada yang timpang atau berat sebelah, perlu
adanya usaha keras yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan
merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara bertahap berdasarkan
perencanaan matang untuk mencapai tujuan atau cita-cita tersebut. Karenanya
perlu ada perbaikan dan peningkatan mutu kualitas pendidikan agar dapat
meminimalisir adanya kelompok manusia terbelakang dan cenderung statis. Semakin
tinggi cita-cita manusia semakin menuntut kepada peningkatan mutu suatu
pendidikan sebagai sarana mencapai cita-cita tersebut. Oleh karena itu,
pendidikan beserta lembaga-lembaganya harus menjadi cermin dari cita-cita
kelompok manusia.
Pendidikan memiliki peran penting
sebagai sarana peningkatan kualitas suatu bangsa, kemajuan bangsa dan kemajuan
pendidikan merupakan suatu determinisme, suatu bangsa telah sejauh mana bangsa
tersebut berkembang ke-tahap atau level selanjutnya. Sedangkan pemenuhan akan
pendidikan harus melewati proses yang mencakup tiga referensi, yaitu individu,
masyarakat atau komunitas sosial dari individu tersebut, dan seluruh kandungan
realitas baik materil maupun spiritual. Namun, tidak jarang pendidikan itu
sendiri senantiasa diwarnai berbagai permasalahan yang tentunya tidak
habis-habisnya, disamping adanya perubahan orientasi dan tuntutan kehidupan
umat manusia juga karena kemajuan teknologi (Maryati, 2014). Ketika satu masalah
pendidikan telah dipecahkan dan diselesaikan, maka akan timbul kembali masalah
pendidikan yang baru dengan volume dan bobot yang berbeda dari sebelumnya.
Salah satu unsur yang paling penting dan
utama dalam dunia pendidikan adalah sosok guru. Guru adalah orang yang memberi
ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, merupakan salah satu komponen manusiawi
dalam rantai pendidikan, dimana ikut berperan dalam pembentukan sumber daya
manusia yang mampu mengembangkan potensi nya dan berkontribusi dalam
pembangunan nasional sekecil apapun. Oleh karena itu, diperlukan sosok guru
yang mempunyai kualifikasi, kompetensi dan dedikasi tinggi dalam menjalankan
tugasnya sebagai tenaga pendidik dan pengajar.
Di era globalisasi ini pada saat
persoalan kenakalan remaja dan banyak kasus lain yang menyebabkan degradasi
moral dalam dunia pendidikkan, marak terjadi, gurulah sebagai ujung tombak
untuk memberikan tindakan preventif dan memperbaiki kondisi yang semakin
memprihatinkan. Maka, hal penting yang harus diperhatikan adalah memperbaiki
hubungan guru dan murid yang saat ini mulai pudar di telan jaman. Hubungan guru
dan murid (siswa) dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat
menentukan dan ikut mempengaruhi dalam keberhasilan mengajar siswa. Sebaik
apapun bahan pelajaran yang diberikan seorang guru, dan sempurnanya metode
pembelajaran, jika hubungan guru murid tidak harmonis maka dapat menciptakan
suasana yang tidak diinginkan. Sejarahnya hubungan guru dan murid dari masa ke
masa sedikit sedikit mulai menunjukkan geliat perubahan. Nilai-nilai ekonomi
sedikit demi sedikit mulai masuk, fenomena yang terjadi sekarang adalah:
kedudukan guru dalam islam semakain merosot, hubungan guru dan murid semakin
kurang bernilai, atau penghormatan murid kepada guru mulai menunjukkan
tanda-tanda degradasi.
Menurut realita yang terjadi, banyak
peserta didik yang notabene belajar ilmu pengetahuan, akan tetapi melakukan
tindakan-tindakan yang tidak berpendidikan. Sopan santun antara murid kepada
guru mulai luntur, seiring masuknya teknologi dan kemajuan-kemajuan yang lain
di era globalisasi. Dengan kondisi yang terjadi diatas maka penulisan artikel
ini dimaksudkan untuk guru dan murid mengetahui, memahami dan menyadari peran
mereka masing-masing bagaimana murid seharusnya bersikap kepada guru, bagaimana
guru memperlakukan murid tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai
pendidik moral mereka. Jika kedua komponen ini dan komponen yang lain dapat
berjalan seimbang maka tidak akan terjadi ketimpangan, dan degradasi moral baik
dari segi murid dan guru dapat di minimalisir bahkan tida ada. Ketika, semua
komponen memahami dan menyadari posisi dan porsi tiap komponen maka tujuan
pendidikan sebagai motor penggerak kemajuan suatu bangsa akan mudah dicapai.
Serta keseimbangan ini agar menimbulkan keselarasan dalam menjalankan hak dan
tanggungjawabnya guna mencapai tujuan pendidikan (Himmah, 2017).
Diharapkan dengan penulisan artikel ini
mampu memberi pemahaman dan pandangan bagaimana posisi murid dan guru dalam
islam sehingga tawadu’ kepada guru mampu di bumikan kembali di negeri ini, guna
menunjang keberhasilan dalam proses pendidikan, dan menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata atau lisan. Data yang dikumpulkan berupa gambar,
kata-kata dan bukan angka-angka. Metode penelitian deskriptif dalam kajian
metodologi penelitian selalu dikaitkan dengan persoalan tujuan penelitian. Akan
tetapi tidak semua ahli menyatakan demikian. Untuk pengumpulan data dalam
penelitian di artikel ini menggunakan studi literature yaitu menelusuri
data-data empiris terkait dengan topic yang akan dibahas oleh penulis baik
pencarian data yang berbasis jurnal elektronik, buku-buku ilmiah, tesis,
skripsi, aturan-aturan, dan sumber tertulis lain yang relevan dengan topic.
Kemudian dari data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.
Sumber data dalam penelitian ini
sepenuhnya menggunakan data sekunder artinya data ini tidak diusahakan sendiri
atau tidak meng-observasi langsung kondisi di lapangan. Pengumpulan data oleh
penulis diambil dari data statistic, majalah, publikasi, keterangan-keterangan
dan lain sebagainya (Marzuki, 2002). Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua,
ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan
peneliti sendiri.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Secara sederhana
pendidikan islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran isalam sebagaimana telah tercantum di Al Qur’an dan Hadist.
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata
kelakuan seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (Maryati, 2014). Definisi yang tertera diatas adalah
definisi pendidikan secara umum belum dibubuhi islam. Dapat dijelaskan bahwa
pendidikan islam adalah suatu sistem dimana pendidikan, pengajaran, bimbingan,
dan pelatihan sesuai dengan cita-cita islam, serta nilai-nilai islam menjadi
ruh yang mewarnai corak pendidikan yang ada. Pendidikan tidak hanya sebatas
pengajaran, karena pendidikan dikatakan sebagai transfer ilmu sekaligus
transformasi nilai, pembentukan kepribadian sekaligus sebagai lembaga preventif
dari tindakan menyimpang remaja.
Ciri khas dalam
pendidikan islam adalah perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan petunjuk
ajaran islam, dikatakan sebagai pembentukan kepribadian muslim dan islam
menjadi nafas dalam setiap tidak tanduk tingkah laku seseorang atau kelompok.
Pendidikan islam memandang bahwa setiap manusia memiliki potensi secara fitrah
untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang
dikaruniakan Allah kepada manusia. Dengan potensi fitrahnya manusia dapat
menyempurnakan kemanusiaanya sehingga menjadi jalan untuk nya dekat dengan
Allah. Dalam pendidikan islam memiliki tujuan untuk membentuk insan kamil (manusia sempurna), dimana
dapat dikatakan menjadi manusia yang utuh, berakhlak mulia, dan memperhatikan
keseimbangan segala aspek. Selain itu tujuan pendidikan islam hasil rumusan
para ulama dan ahli pendidikan yaitu “bahwa pendidikan memiliki tujuan yang
luas dang sangat mendalam, seluas dan sedalam kebutuhan manusia sebagai mahluk.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan yakni menumbuhkan pola kebribadian yang
bulat dan utuh artinya saling terhubung antar satu dengan yang lain diwujudkan melalui
latihan, dan bertranformasi menjadi kebiasaan. Pendidikan islam dibangun atas
dasar pemikiran yang islami, bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang
manusia, serta diarahkan kepada tujuan pendidikan dimana dilandasi
kiadah-kaidah islam. Dari pemikiran-pemikiran tersebut diharapkan melahirkan
kurikulum yang khas islam. Salah satu ajaran yang ada pada pendidikan islam
adalah mengenai konsep tawadu’ hubungan
(akhlak) antara guru dan murid dimana ke dua peran ini memiliki porsinya
masing-masing dalam rantai pendidikan, jika seluruh komponen ini dapat
melakukan sesuai dengan hak dan kewajibannya maka tak ayal tujuan utama dalam
pendidikan akan tercapai dan peran pendidikan sebagai wadah dalam membangun
generasi bangsa akan mudah terpenuhi.
B.
Pengertian
Adab Guru dan Murid
A. PengertianAdab, Istilah adab tidak lepas dai dunia
pendidikan. Menurut Yasin (2008: 20), kata ta’dib
berasal dari kata aduba-ya’dubu, yang
berarti melatih atau mendisiplinkan diri. Atau berasal dari kata addaba-yuaddibu-ta’diiban, yang berarti
mendisiplinkan atau menanamkan sopan santun. Kata adab dapat disimpulkan
sebagai suatu upaya membimbing, mengarahkan, mencontohkan, membiasakan dan
memandu sopan santun (adab) kepada seorang individu atau kelompok untuk
bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku dan sesuai tuntunan yang dia
anut dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadist.
B. Pengertian
Guru, guru adalah seseorang yang memberikan
dan mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Menurut Imam al-Ghazali,
seseorang dinamai guru apabila memberitahukan sesuatu ilmu yang baik kepada
siapapun, seseorang yang memberikan hal apapun yang bagus, positif, kreatif,
atau bersifat membangun kepada manusia yang sangat menginginkan, di dalam
tingkat kehidupannya yang manapun, dengan jalan apapun, tanpa mengharapkan
balasan uang kontan setimpal apapun adalah guru atau ulama. Posisi guru dalam
dunia pengajaran sangat urgen. Dapat dikatakan, guru adalah faktor penentu
keberhasilan proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, guru
harus memiliki standarisasi agar memenuhi kualifikasi tertentu yang mencakup
tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Menurut Yasin (2008: 89), dengan
menyimpulkan dari berbagai pendapat para ahli pendidikan dalam islam, telah
merumuskan bahwa sifat-sifat yang harus melekat pada seorang pendidik itu dapat
disimpulkan sebagai berikut: memiliki sifat kasih dan sayang terhadap peserta
didik, lemah lembut, rendah hati, menghormati ilmu yang bukan bidangnya, adil,
menyenangi ijtihad, konsekuen, dan sederhana. Jadi dalam perannya, guru tidak
hanya tahu tentang materi yang akan diajarkan.
C. Pengertian
Murid, kata murid berasal dari
bahasa Arab ‘arada, Yuridu iradatan,
muridan yang berarti orang yang menginginkan, dan menjadi salah satu sifat
Allah SWT yang artinya Maha Menghendaki. Menurut Yasin (2008: 100 – 101),
istilah peserta didik atau murid dimaknai sebagai seorang anak yang mengikuti
proses kegiatan pendidikan atau proses belajar-mengajar untuk
menumbuh-kembangkan potensinya, maka dalam literature bahasa Arab yang sering
digunakan oleh para tokoh pendidikan dalam islam, antara lain: 1) Mutarabby, mengandung makna peserta didi
dijadikan sasaran untuk dididik, diatur, diurus oleh para murabbay dalam dunia pendidikan. 2) Muta’allim, seorang yang sedang belajar menerima atau mempelajari
ilmu. 3) Muta’addib, orang yang
sedang belajar meniru, perilaku sopan santun dari seorang guru. 4) Daaris, seseorang yang sedang berusaha
belajar melatih intelektualnya melalui proses pembelajaran. 5)murid, adalah
seseorang yang sedang berusaha belajar untuk mendalami ilmu agama dari seorang mursyid melalui kegiatan pendidikan,
sehingga memiliki pengtahuan, pemahaman dan penghayatan spiritual yang mendalam
terhadap nilai-nilai keagamaan, memiliki ketaatan dalam menjalankan ibadah.
Serta berakhlak mulia. Dari banyak pengertian diatas dapat penulis simpulkan
bahwasanya murid adalah setiap orang yang menimba ilmu, membutuhkan
pengetahuan, membutuhkan bimbingan, mencari pengetahuan dan membutuhkan
pelatihan agar manusia mampu mengembangkan potensi fitrahnya melalui beragam
proses dalam pendidikan sehingga potensi dan tujuan optimal dapat tercapai.
C.
Adab
Guru dan Murid (Konsep Tawadu’)
Dalam dunia pendidikan guru dan murid
adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, jika di analogikan sebagai
pihak pemberi dan penerima. Oleh karena itu, hubungan guru dan murid merupakan
faktor yang paling menentukan keberhasilan dan perkembangan peserta didik. Syaiful
Bahri Djamarah (2000: 13 -14) menyebutkan bahwa terdapat 5 pola interaksi guru
dan murid, yaitu:
1. Pola
Guru-Murid
Dalam
pelaksanaan, pola ini diartikan sebagai komunikasi satu arah dimana semua
kegiatan pembelajaran berpusat pada guru. Murid tidak berusaha membuktikan
kebenaran yang diterimanya, apalagi mencoba mengaplikasikan pendapatnya.
2. Pola
Guru-Murid-Guru
Tugas
guru sebagai fasilitator yang memberikan motivasi dan menciptakan kondisi yang
memungkinkan murid untuk memiliki semangat belajar. Guru melontarkan atau
memberi masalah tertentu agar murid mampu mengkritisi dan menganalisa pemecahan
masalah nya. Sehingga, dari kondisi seperti ini timbulah interaksi antara murid
dan guru.
3. Pola
Guru-Murid-Murid
Dalam
hal ini, guru hanya menciptakan situasi sehingga tercipta suasana dan proses
belajar mengajar yang aktif. Masing-masing murid memegang peranan dan mampu
mengembangkan kemampuan nya untuk berpendapat secara optimal.
4. Pola
Guru-Murid, Murid-Guru, Murid-Murid
Pola
komunikasi multiarah, dimana memungkinkan kesempatan yang sama bagi setiap
murid dan guru untuk berinteraksi. Setiap murid akan berusaha mencarai jawaban
atas permasalahannya dan guru sebagai pembimbing untuk membantu menjawab
permasalahan murid tersebut.
5. Pola
Melingkar
Setiap
murid diberi giliran untuk mengemukakan pendapat, sanggahan, jawaban namun
murid tidak diperkenankan berbicara dua kali agar pihak lain juga dapat
mengemukakan pendapatnya.
Setelah
mengetahui pola interaksi antara guru dan murid yang ada dalam dunia
pendidikan, selanjutnya adalah memahami pola hubungan guru dan murid. Dalam
dunia pendidikan seorang pendidik hendaknya mampu menumbuh-kembangkan potensi
peserta didik dengan cara menanamkan pengetahuan dan memberi teladan atau uswatun khasanah, agar anak didik
berkembang menjadi sempurna terhadap potensi fitrahnya.
Penjelasan
Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Adab Fi al
Din. Bahwa seorang guru bertugas untuk mendidik anak-anak didiknya, dalam
membangun kepribadian anak didik sebaiknya dibangun dari gurunya terlebih
dahulu. Seorang pendidik hendaknya mampu mendengar permasalahan anak didik dan
memberi (mencari) kan jalan keluar, serta tetap tawadu’ jika anak didik bertanya artinya seorang guru jangan
sombong ketika memiliki ilmu pengetahuan yang lebih. Imam al-Ghazali menyebut
murid dengan sebutan muta’allim.
Secara kodrati anak sangat memerlukan bimbingan dari orang dewasa.
Dari
ayat diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan status manusia adalah
melalui proses pendidikan, baik formal, informal, dan nonformal. Untuk itu
peserta didik perlu menyadari tugas dan kewajibannya. Al-Ghazali menyebutkan
sifat terpenting yang harus dimiliki seorang Muta’allim (murid) adalah bersifat tawadu’ (rendah hati). Ketika bertemu dengan guru hendaknya murid
mengucapkan salam terlebih dahulu kepada gurunya. Dalam kegiatan
belajar-mengajar murid hendaknya memperhatikan dengan seksama dan menghargai
guru yang tengah belajar. Murid hendaknya bersikap sopan dan santun. Ketika
ingin menanyakan suatu hal hendaknya datangi tempat guru tersebut (kantor), dan
ketika guru tengah melakukan suatu hal hendaknya murid menunggu hingga urusan
guru tersebut selesai.
Selain peseta didik, pendidik (guru)
hendaknya juga mempunyai tanggung jawab dalam perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik, agar mampu mencapai tingkat kedewasaan dan kemandiriannya dalam
memenuhi tugas sebagai hamba Allah. Seorang pendidik dalam dunia pengajaran
memmiliki posisi yang sangat penting. Oleh karena itu, usaha-usaha yang
dilakukan dalam peningkatan mutu pendidikan hendak nya dimulai dari peningkatan
kualitas guru atau tenaga pendidiknya. Seorang guru hendaknya memelihara
kehormatan ilmunya. Al-Ghazali mengatakan bahwa seorang ahli ilmu harus mampu
istiqomah dalam arti menekan dorongan nafsunya pada perbuatan buruk. Hal-hal
yang perlu dihindari oleh seorang pendidik antara lain adalah tidak boleh riya’
dan sombong. Apabila seorang guru dapat meninggalkan diri dari sifat buruk,
maka ia akan menjadi guru professional karena keikhlasan yang murni dari dalam
hati ketika menjadi pendidik. Dalam proses pembelajaran, masing-masing siswa
memiliki kemampuan intelektual dan emosional yang berbeda-beda. Pendidik
hendaknya dapat memahami keadaan tersebut misalnya dengan memperhatikan daya
tangkap, kecerdasan, dan kemampuan, serta hasil latihan mereka. Dalam dunia
pendidikan guru hendaknya memiliki rasa kasih sayang terhadap murid-muridnya
dalam melaksanakan praktik mendidik dan mengajar, sehingga akan menimbulkan
rasa tentram dan rasa percaya diri pada diri murid terhadap gurunya.
Ketika ingin menghukum murid, guru
hendaknya menggunakan cara simpatik ,halus, dan tidak menggunakan kekerasan,
tidak mencaci, dan memaki. Seorang guru hendaknya mengakui perbedaan potensi
yang dimiliki peserta (anak) didiknya. maka dari itu guru harus mampu
mengetahui karakeristik murid, karena hal ini akan berimplikasi bagi
terbentuknya hubungan yang baik antara guru dan murid. Hal yang perlu
diperhatikan bagi seorang pendidik adalah mencegah dan mengontrol peserta didik
mempelajari ilmu yang kurang ada manfaatnya. Jika kedua, komponen ini mampu
menyadari, memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan porsinya
maka tak ayal degradasi moral remaja yang marak terjadi era ini akan mampu di
minimalisir.
Pada zaman sekarang tantangan
globalisasi yang semakin besar dan luas di semua lini kehidupan, bukan hanya
menjadi penyebab runtuhnya nilai-nilai luhur bangsa, tetapi juga akan berdampak
pada terhambatnya generasi penerus bangsa yang berakhlak. Melihat kondisi rill
yang ada sekarang, banyak kasus-kasus yang terjadi di kalangan pelajar seperti
bullying, free sex, pornografi, pengedaran narkoba, pergaulan bebas, membuat
peran pendidikan khususnya sekolah dipertanyakan. Hal ini, dapat dianalisa
bahwa pendidikan belum mampu menjawab masalah besar bangsa ini. Guru dan murid
adalah dua elemen yang saling menyeimbangkan karena keduanya berada pada
hubungan yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Dewasa ini
tujuan bersekolah juga mengalami pergeseran, dimana mayoritas saat ini, belajar
hanyalah untuk mendapatkan nilai sekolah yang tinggi.
Dengan fenomena yang terjadi saat ini,
maka perlu fondasi atau dasar bangunan dimana terbentuk dari moral religius
yaitu dengan memperbaiki adab. Karena, adab adalah salah satu sifat yang
penting diperhatikan dan dimiliki siapapun, dalam hal ini khusunya guru dan
murid hendaknya motivasi pendidik dan peserta didik belajar dan mengajar dengan
ikhlas dan penuh ketawadu’an. Dalam
konteks mengajar, sifat tawadu’ dapat
menghancurkan batas yang menghalangi antara seorang guru dengan murid karena
masing-masing elemen sadar akan apa yang harus dia lakukan. Murid harus
membersihkan hatinya kembali agar mampu menyerap ilmu dengan mudah, dan
semata-mata hanya mengharap ridho serta sebagai sarana untuk beribadah
kepada-Nya.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
keseluruhan analisa menunjukkan bahwa:
1. Pendidikan
memiliki tujuan yang luas dang sangat mendalam, seluas dan sedalam kebutuhan
manusia sebagai mahluk. Oleh karena itu, tujuan pendidikan yakni menumbuhkan
pola kebribadian yang bulat dan utuh artinya saling terhubung antar satu dengan
yang lain diwujudkan melalui latihan, dan bertranformasi menjadi kebiasaan. Pendidikan
islam dibangun atas dasar pemikiran yang islami, bertolak dari pandangan hidup
dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan kepada tujuan pendidikan
dilandasi kaidah-kaidah islam.
2. Adab,
Guru, dan Murid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang
berorientasi pada pengoptimalan dalam bentuk proses pendidikan atau
belajar-mengajar yaitu guru dan murid memiliki sifat tawadu’.
3. Degradasi
moral remaja khusunya dalam dunia pendidikan di era globalisasi ini sudah
memasuki tahap siaga. Maka dari itu, perlunya penguatan kembali moral anak
didik salah satunya adalah dengan konsep tawadu’
dimana guru dan murid menyadari peran nya masing-masing baik dari segi hak
maupun kewajiban. Sosok guru yang idela adalah guru yang mampu memiliki
motivasi mengajar dengan ikhlas dan mampu mengoptimalkan potensi fitrah anak
didiknya, karena setiap individu memiliki potensi fitrahnya masing-masing.
Muridpun harus mampu membersihkan hatinya dimana menuntut ilmu semata-mata
hanya mengharap ridho dan sebagai bentuk ibadah kepada-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Al-Qur’an
dan Al-Hadist.
2. Maryati.
2014. Konsep Pemikiran Burhanuddin Al-Zarnuji Tentang Pendidikan Islam (Telaah
dalam Prespektif Pola Hubungan Guru dan Murid). Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
3. Himmah,
Faiqotul. 2017. Adab Guru dan Murid Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Al-Adab
Fi Al-Din. Salatiga: Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
4. Marzuki.
2003. Metodologi Riset. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia.
5. A.
Fatah, Yasin. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Malang: Universitas Islam
Negeri Malang.
6. Djamarah,
Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta:
Rineka Cipta.
7. Al-Ghazali,
t.t. Al-Adab Fi Al-Din. Ploso: Maktabah Al-Falah.
8. Al-Ghazali,
t.t. Ihya’ Ulumuddin. Terjemahan oleh Mohammad Zuhri. Semarang: As-Syifa’.
9. Al-Qardhawi,
Yusuf.t.t. Al-Imam al-Ghazaly baina Madihihi wa Naqidihi. Terjemahan oleh Ahmad
Satori Ismail (Pro Kontra Pemikiran Al- Ghozali). Surabaya: Risalah Gusti.
Comments
Post a Comment